Tahun-Tahun Awal

Sukanto Tanoto lahir di Indonesia, di sebuah kota di Pulau Sumatera yaitu Medan pada hari Natal tahun 1949 dari sepasang perantau asal Putien, Provinsi Fujian di Tiongkok. Anak tertua dari tujuh bersaudara, Sukanto Tanoto dididik di sekolah berbahasa Mandarin dan tidak pernah belajar Bahasa Indonesia secara formal walaupun kini beliau sangat fasih berbahasa Indonesia. Pada tahun 1966, ketika beliau berumur 17 tahun, Sukanto Tanoto meninggalkan bangku sekolah menengah atas sebelum lulus untuk bergabung dengan ayahnya yang telah mengelola tiga perusahaan di Medan dan memasok suku cadang untuk perusahaan minyak dan gas.

Sukanto muda mengambil alih bisnis-bisnis ayahnya sebagai anak lelaki tertua di keluarga. Secara bertahap, Sukanto mendirikan bisnisnya sendiri dan memperluas bisnisnya dari hanya sekadar jual-beli sampai membangun jaringan pipa gas untuk perusahaan multinasional. Bisnis tersebut melesat pada tahun 1972 ketika terjadi krisis minyak, di mana harga minyak melonjak drastis akibat embargo minyak pertama kalinya oleh Timur Tengah.

Dalam kunjungannya ke Taiwan, Sukanto Tanoto menyadari bahwa Indonesia mengekspor kayu log untuk diubah menjadi kayu lapis dan kemudian mengimpor produk jadinya dengan harga yang lebih tinggi. Sukanto Tanoto yakin bahwa dia bisa memproses kayu log secara lokal. Pada tahun 1973, Sukanto Tanoto mendirikan RGM dan dan mulai memasuki bisnis kayu lapis setelah ia berhasil meyakinkan pemerintah untuk memberikan izin dalam pendirian pabrik kayu lapis. Pabrik tersebut rampung dalam waktu 10 bulan, empat bulan lebih cepat dari jadwal semula.

Dengan kesuksesan dan reputasinya yang menanjak sebagai seseorang yang bisa bekerja dan menuai hasil, Pemerintah Indonesia, yang saat itu memiliki fokus pada pertumbuhan ekonomi, termasuk sektor kelapa sawit, meminta Sukanto Tanoto untuk bergabung dalam industri kelapa sawit di mana dia berhasil dengan cepat mendirikan pabrik yang terintegrasi mulai dari perkebunan sampai dengan kilang penyulingan.

Seiring pertumbuhan bisnis Sukanto Tanoto, beliau dan istrinya mulai fokus pada -manfaat sosial dari setiap bisnisnya, seperti mendirikan taman kanak-kanak dan sekolah, awalnya untuk karyawan namun seiring berjalannya waktu, dibangun juga untuk komunitas sekitar di mana perusahaan tersebut beroperasi.

Pertumbuhan Bisnis

Bisnis Sukanto Tanoto berikutnya dimulai pada tahun 1988 ketika dia mendirikan perkebunan dan pabrik dekat Danau Toba di Sumatra, Indonesia untuk memproduksi pulp, kertas dan bubur pulp.

Hal ini diikuti dengan pendirian APRIL (Asia Pacific Resources International Limited) pada tahun 1994, sebuah bisnis pulp dan kertas milik Sukanto Tanoto di Kerinci, Sumatra, Indonesia.

Pada tahun 1995, produksi komersial kertas telah dimulai dan dua tahun kemudian, pembangunan pabrik pulp kedua telah dijalankan. Seiring dengan ekspansi bisnisnya, Sukanto Tanoto sadar jika dia ingin menjadi pemain global, dia harus mahir berbahasa Inggris. Keinginan ini memotivasi beliau untuk belajar Bahasa Inggris kata demi kata, menggunakan kamus Bahasa Mandarin – Bahasa Inggris sambil membaca tiga majalah, Life, Reader’s Digest dan Newsweek. Sukanto Tanoto juga sadar bahwa memahami manajemen bisnis modern sangatlah penting. Sukanto Tanoto kembali melanjutkan pendidikan formalnya, mengikuti kursus di sekolah bergengsi seperti INSEAD, Harvard, Wharton dan Carnegie Mellon.

Krisis Keuangan Asia

Pada tahun 1997, bisnis milik Sukanto Tanoto, seperti juga dengan bisnis lain di Asia, terkena dampak dari krisis keuangan Asia. Ini adalah krisis keuangan yang sangat parah, ditunjukkan dengan bangkrutnya banyak perusahaan, penutupan bank dan melemahnya pemerintahan serta pemberhentian ribuan karyawan dari banyak perusahaannya.Demikian pula dengan APRIL, pabrik tersebut tidak dapat berjalan secara maksimal salah satunya karena pinjaman yang meningkat sebesar 50% akibat fluktuasi mata uang yang melonjak. Untuk menjalankan kembali pabriknya, Sukanto Tanoto menjual beberapa aset dan mengatur kembali pinjamannya. Tidak seperti para pengusaha kebanyakan, Sukanto Tanoto tetap menjalankan kewajiban-kewajibannya dan memenuhi komitmen finansial tanpa menerima bantuan/potongan apapun. Salah satu pelajaran berharga yang beliau pelajari dari krisis keuangan Asia adalah penerapan Corporate Social Responsibility (CSR). “Kalian harus terus memperhatikan masyarakat sekitar, tidak hanya para karyawan, tapi juga komunitas,” jelasnya. “Hal ini tidak terbatas pada mendidik masyarakat dengan membangun sekolah. Masyarakat harus makan, mereka harus bertahan hidup. Jadi ketika Pemerintah tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, para pengusaha harus masuk untuk segera memenuhi kebutuhan tersebut. Kalian harus mengoperasikan perusahaan dengan prinsip menjadi berguna bagi orang banyak, berguna bagi komunitas dan berguna bagi perusahaan. Kalian harus memiliki tiga prinsip tersebut atau bisnis kalian akan hancur.”

Karena parahnya krisis tersebut, APRIL mendirikan komite pertumbuhan komunitas dan memulai program yang kini menjadi sangat sukses dalam meningkatkan taraf hidup orang banyak. Skema Pertanian Terpadu mengajarkan masyarakat pedesaan bagaimana bertani secara berkelanjutan. Program ini menyatukan hortikultura dengan beternak hewan, perikanan, pengomposan dan daur ulang. Para petani diberikan modal awal seperti hewan ternak, ikan dan benih serta pelatihan yang memadai untuk menghindari sistem pertanian yang bersifat destruktif seperti tebang dan bakar (slash and burn), serta pelatihan untuk meningkatkan pemasukan mereka.

Melanjutkan Pertumbuhan Bisnis

Setelah krisis keuangan mereda, Sukanto Tanoto merampungkan pabrik APRIL di Kerinci dan melihat kesempatan lainnya. Milenium yang baru melihat adanya pergerakan pada sektor sumber daya energi yang ditunjukkan dengan pendirian Pacific Oil & Gas (PO&G). Operasi pertamanya mencakup produksi dan eksplorasi minyak sepanjang pesisir Sumatra, Indonesia. Saat ini, operasinya mencakup pengembangan ladang gas alami di Indonesia, termasuk terminal LNG dan pembangkit listrik Combined Cycle Gas Turbine berskala besar di Tiongkok. Pada tahun 2003, Sukanto Tanoto mengakuisisi dua perusahaan di Brazil, pabrik pengolahan pulp dan perusahaan perkebunan. Dengan mengintegrasikan operasi mereka dan membangun pabrik serat pokok viscose pertama yang dimiliki orang asing di Jiujiang, Tiongkok, Sukanto Tanoto dalam waktu bersamaan mendirikan Sateri Holdings Limited sebagai perusahaan baru yang bergerak di industri selulosa. Pengelolaan bubur pulp kayu dan serat viscose diproduksi dari perkebunan yang dapat diperbarui dan berkelanjutan.

Hasilnya dapat digunakan untuk berbagai pilihan produk dari kosmetik, makanan, tekstil, tisu wajah dan bayi, popok, obat-obatan, pasta gigi, deterjen, sampo dan cat. Pada tahun 2008, perusahaan telah menggandakan kapasitas pabrik di Brazil menjadi 465.000 ton bubur pulp kayu dan mengekspansi produknya sehingga menjadikan Sateri sebagai pemasok bubuk pulp kayu yang sangat luas di industri ini.

Di Tiongkok, Sukanto Tanoto memperluas jaringan bisnisnya dengan mengakuisisi 90% SSYMB, pabrik pulp dan kertas karton di Rizhao dan menyatukannya dengan APRIL. Hasilnya, kapasitas pabrik telah meningkat menjadi lebih dari satu juta ton pulp dari perkebunan yang didirikan untuk menyediakan serat.Dengan bisnis yang terus berkembang, Sukanto Tanoto semakin fokus menjalankan CSR dan filantropi, menyadari bahwa CSR ini perlu dilanjutkan dengan lebih strategis lagi agar dapat tetap efektif. Pada tahun 2001, Tanoto Foundation didirikan untuk mengkoordinasikan kegiatan filantropi dan kerja sosial dari keluarga Tanoto. 

Untuk informasi lebih lanjut mengenai bisnis Sukanto Tanoto dan Tanoto Foundation, klik di sini atau link di atas.

Sukanto Tanoto dengan orang tua dan saudara-saudaranya

Sukanto Tanoto Website

Sukanto Tanoto is a visionary entrepreneur and philanthropist. He is the Founder and Chairman of Royal Golden Eagle (RGE), which manages a global group of companies in resources manufacturing. Tanoto is also the co-founder of Tanoto Foundation, a philanthropy that aims to improve lives by alleviating poverty.